“You are pretty much like the ocean. Somehow I missed you alot, but you scare me of getting lost on you”
Hai sobat, Sudah lama kita tak jumpa di blog ini, maklum sudah beberapa bulan vacum dari tulis-menulis karena ada kesibukan yang harus segera di tuntaskan. Baiklah saya tidak akan memperpanjang muqoddimah, kita langsung saja.
Seperti yang sobat lihat pada judul artikel kali ini yaitu "Adakah dia menyimpan rasa yang sama?".
Tak diragukan lagi, telah banyak berlalu- lalang kisah yang melewati indra pendengar kita, tentang dia, bukan, bukan tentang dia, bahkan tentang mereka, generasi muda yang terombang-ambing di lautan lepas samudra asmara.
Di antara mereka ada yang memang merelakan dirinya hanyut danberlarut hingga tenggelam, sebagiannya berupaya berenang ke tepian dengan kepayahan dalam usaha mereka yang memiliki beragam kesungguhan, dan nampak pula satu dua dari mereka yang kokoh menaiki bahtera keselamatan.
Memang benar berbicara tentang cinta memang tak ada habisnya, kabut kesamaran pun selalu menyelimuti hati tatkala kita bertanya manakah bedanya antara cinta, nafsu, ataukah sekedar fenomena biologis sewajarnya remaja yang sedang aktif memproduksi hormon kedewasaan.
Yang sangat mengkhawatirkan lagi adalah saking kaburnya dunia cinta ini sampai-sampai setan pun tak mau melewatkan kesempatan bermain di dalamnya. Dengan akal bulusnya dan tipu muslihatnya setan memperdaya manusia mengatasnamakan cinta, dia membuat kabur, membubuhi, memanipulasi dan membutakan sebagian besarnya bahkan memabukkan, sehingga tak sedikit dari mereka hingga benar-benar hilang akal sehatnya.
Dengan dalih cinta yang membabi buta, butalah mata dan tulilah telinga bahkan sampai hatinya pun mulai membuta, hingga terhapuslah seluruh batas norma dan agama. Lalu bagaimana Islam memandangnya dan bagaimanakah hendaknya kita bijak dalam menyikapinya?
Kita tentu sering mendengar banyaknya penyeru berucap bahwa cinta dalam Islam pun ada aturannya. Tentang bagaimanakah cinta, salah satu bagian paling indah dari dunia ini telah memiliki porsi pembahasannya tersendiri dalam jalan hidup paripurna.
Namun yang jadi pertanyaan, apakah kita bersedia menjadikannya pegangan di masa penuh godaan?? Adalah benar bahwa cinta adalah karunia sang Pencipta, bahwa cinta adalah sebuah kenikmatan dunia.
Lantas telah cukup kah kita mengerti bagaimana mensyukuri nikmat cinta dan membawanya ke arah yang Allah inginkan agar nantinya membuahkan nikmat-nikmat selanjutnya? Setidaknya kita patut menyimak satu alasan pentingnya menempatkan cinta pada kedudukannya,
Pada zamannya Rasulullah ﷺ, Bahwasannya ada seorang Arab badui bertanya kepada Rasulullah ﷺ.:
Kapankah kiamat itu tiba? Rasulullah ﷺ bersabda: Apa yang telah kamu persiapkan untuk menghadapinya? Lelaki itu menjawab: Cinta Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah ﷺ. bersabda: Kamu akan bersama orang yang kamu cintai. (Shahih Muslim No.4775)
Sebab di sini kita pun saling menasihati dengan dorongan rasa cinta sesama muslim di saat melihat saudaranya tersiksa karena cinta.
Rasulullah ﷺ bersabda:
Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling kasih, saling menyayang dan saling cinta adalah seperti sebuah tubuh, jika salah satu anggotanya merasa sakit, maka anggota-anggota tubuh yang lain ikut merasakan sulit tidur dan demam. (Shahih Muslim No.4685)
Patutkah manusia itu mendiami beragam tempat tinggal namun memendam kerinduan pada tempat tinggalnya semula, yaitu surga yang nyata, padahal dia memalingkan hatinya pada apa saja, sedang tidak bersisa pada hatinya cinta pertama yaitu pada Allah Azza wa Jalla.
Maka marilah sobat, saudaraku sekalian kita mulai kembali membenahi hati kita. Hendaknya kita mulai bersemangat mendatangi majelis yang di dalamnya diajarkan bagaimana mencintai Allah dan RasulNya.
Nabi ﷺ bersabda:
Seorang hamba tidak beriman sebelum aku (Muhammad ﷺ) lebih dicintainya dari keluarganya, hartanya dan semua orang. (Shahih Muslim No.62)
Tanpa perlu mencari banyak alasan pun kita tahu bahwa mencintai Allah dan RasulNya tidak pernah berbuah pahit. Tidak akan muncul pertanyaan seperti ini : “Adakah dia menyimpan rasa yang sama ?”.
Sebab menjadi muslim adalah salah satu bukti bahwa Allah tengah mencintainya, yang tersisa ialah pertanyaan pada diri sendiri bagaimana kita mengejar bentuk cinta Allah yang selanjutnya. Karena sungguh dirinya yang kepemilikannya belum pasti, tak semestinya mendominasi dan menguasai isi hati. Allahu'alam bishowab.
نقل عن أبي سليمان