Jiwa yang Merenung
Iman yang kian menipis, kebodohan yang kian
menebal, pergaulan yang semakin bebas, dilengkapi beraneka ragam fasilitas. Apa
yang terjadi? tidak lain, melainkan jiwa semakin ternoda, hitam pekat dengan
kemaksiatan, membuatnya semakin buta akan kebaikan dan nilai – nilai agama.
Betapa tidak, setiap orang semakin mudah untuk mendapatkan apa yang diinginkan
jiwanya, apa yang dimaukan oleh syahwatnya dengan cepat dan murah.
Memang apabila keimanan yang membentengi diri sudah
menipis, bahkan habis terkikis oleh dosa dan maksiat maka tidak menyisakan pula
rasa malu dalam diri. Seakan tiada penghalang untuk berbuat maksiat walaupun di depan banyak orang, di siang
bolong dan terang benderang. Inikah buah modernisasi dan globalisasi yang kebablasan? Kalau memang ini buahnya,
apa yang bisa dibanggakan darinya? Apakah kita akan berbangga atas kerusakan
moral, hilangnya akhlak, pudarnya nilai-nilai agama? Apa gunanya kemajuan duniawi diiringi kerusakan ukhrowi?
Kemanakah jiwa-jiwa suci, akhlak-akhlak mulia, rasa malu untuk
berbuat dosa, apakah itu semua hanyalah cerita dan kenangan di masa lalu,
ataukah kebanyakan manusia memang sudah tidak membanggakan nilai-nilai kebaikan lagi dan
justru berbangga dengan para bintang film, artis sinetron dan para penyanyi
dangdut walaupun mereka dalam kubangan maksiat? Sungguh celaka apabila ini yang
terjadi.
Wahai Jiwa...,sampai kapankah kita akan seperti ini, belum tibakah waktunya untuk kita
merenung, belum datangkah saatnya untuk kita kembali dan bertaubat. Duhai jiwa
sadarlah engkau dari lamunanmu, bangunlah engkau dari mimpimu. Engkau merasa
dalam mimpi yang indah, padahal engkau berada di dalam buaian syaiton.
Dengarlah seruan dari Rabbmu:
“Belumkah datang
waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat
Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah
mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya,
kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi
keras. dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Hadid:16)
Asy-Syaikh As-Sa’dy menerangkan makna ayat tersebut : “Belum tibakah waktunya untuk
menjadi lembut hati–hati mereka, dan khusyu’
untuk mengingat Allah dan tunduk terhadap perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Dan tunduk terhadap kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad ? Maka
di dalamnya ada anjuran untuk bersungguh-sungguh atas khusyu’nya hati mengingat Allah dan apa yang diturunkan dari Al-Kitab dan hikmah. Dan
hendaknya seorang mukmin selalu mengingat nasihat Illahiyyah dan hukum-hukum syar’iyyah di setiap waktunya, dan instrospeksi jiwanya (muhasabbah) atas itu semua.” (Taisir Karimir Rahman, hal.803)
Oleh karena itu betapa pentingnya kita muhasabbah diri-diri kita, memperbaiki jiwa-jiwa kita, terlebih lagi
sifat asal jiwa adalah selalu mengajak kepada kejelekan, sebagaiman firman
Allah :
“Dan aku tidak
membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya jiwa itu selalu
menyuruh kepada kejelekan, kecuali jiwa yang diberi
rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yusuf : 53)
Maka hendaknya kita bimbing jiwa ini untuk mencari
apa yang ada di sisi Allah . Al-Imam Abdul Qodir Al-Jailani rahimahullah
mengatakan : “Janganlah keinginan jiwa itu terfokus pada apa yang engkau makan, apa yang
engkau minum dan apa yang engkau pakai dari pakaian. Maka hendaknya engkau
kekang jiwa untuk berambisi terhadap apa-apa yang di sisi Allah . Karena dunia itu ada
gantinya yaitu akhirat, pujian mahkluk-makhluk ada gantinya yaitu pujian
Allah , setiap kali engkau tinggalkan sesuatu dari apa-apa yang ada di dunia ini
karena Allah , maka Allah jadikan gantinya yang lebih baik
di akhirat.” (Mawa’idh Syaikh Abdil Qodir Al-Jailani, hal.43)
Di dalam pembukaan khutbahnya, Nabi Muhammad sering berlindung diri kepada Allah dari kejelekan jiwa, Nabi bersabda :
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَسْتَعِينُهُ
وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا
“Sesungguhnya
segala puji hanya milik Allah, kami memohon pertolongan kepada-Nya, memohon
ampunan kepada-Nya, dan memohon perlindungan kepada-Nya dari
kejelekan-kejelekan jiwa kami.” (HR. Abu Dawud : 2118 dan yang
lainnya)
Berkata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah : “Kejelekan jiwa berporos pada dua perkara dan tidak ada yang lain; ada kalanya jiwa itu menyeru kepada perbuatan maksiat dan ada kalanya
menghalangi dari ketaatan kepada Allah .” (Syarah
Ushul min Ilmi Ushul, hal. 11)
Dengan demikian sucinya jiwa dari noktah-noktah dosa adalah
tanda kebaikan pada seorang hamba, dan para salaf kita telah bertutur : “Selamatnya jiwa, tidak bisa
dibandingi dengan sesuatu apapun dari perkara-perkara dunia. Oleh karena
itu bersemangatlah untuk mengoreksi jiwa-jiwa kita. Wallahul
muwaffiq..